STUDI KASUS MANAJEMEN PERUBAHAN JAPAN AIRLINES
Japan Airlines adalah salah satu maskapai penerbangan dunia yang sudah
dikenal reputasinya yang baik. Baik dalam hal pelayaann di darat maupun
di udara. Itulah mengapa, maskapai yang berdiri sejak 1 Agustus 1951
sering menjadi barometer pelayanan maskapai lain di dunia. Untuk
penerbangan internasional pertamanya, Japan Airlines menempuh Tokyo –
San Fransisco menggunakan pesawat Douglas DC 6. Penerbangan ini
dilakukan pada tanggal 2 Februari 1954.
Dengan kekuatan armada mereka yang cukup kuat, Japan Airlines tidak
mengalami kesulitan manakala pada tahun 1970an, pemerintah Jepang
menerapkan deregulasi penerbangan. Di antaranya melakukan privatisasi
Japan Airlines dan membuka kran persaingan di transportasi udara.
Akhirnya dengan kondisi ini masuklah dua pesaing baru, yaitu All Nipon
Airways dan juga Japan Air System.
Perkembangan selanjutnya yang terjadi, antara Japan Airlines dan Japan
Air System kemudian mengikat kerjasama. Proses kerjasama ini adalah
kesepakatan kedua maskapai untuk melakukan merger. Bergabungnya dua
perusahaan ini terjadi pada tahun 2001 dan selesai pada tahun 2004.
Untuk menjaga potensi pasar yang sudah terbentuk, dan proses merger
tersebut disepakati bahwa nama Japan Airlines akan dipertahankan sebagai
identitas perusahaan tersebut.
Setelah melakukan merger dengan nama
Japan Air System, terjadi sedikit perubahan dalam manajemen Japan
Airlines. Salah satu yang dilakukan adalah masuk ke dalam aliansi
Oneworld sejak 1 April 2007. Sayangnya, keputusan ini justru tidak
diikuti dengan perkembangan positif dalam transaksi keuangan Japan
Airlines.
Salah satu dampak yang terasa adalah kerugian besar yang menimpa Japan
Airline pada tahun transaksi 2009. Perusahaan ini mengalami goncangan
yang sangat dahsyat dan mengancam stabilitas. JAPAN AIRLINES Tak kuasa
menanggung beban utang korporat sekitar US$25,6 miliar. JAPAN AIRLINES
mengajukan perlindungan pailit kepada Pengadilan Distrik di Tokyo.
Maskapai itu juga dibebani dengan pembayaran gaji dan pensiun yang terus
membengkak dan rute domestik nirlaba yang secara politis wajib
dipertahankan.
Untuk menyelamatkan perusahaan dari ancaman kebangkrutan, akhirnya
pemerintah memberikan dana talangan sebesar 100 juta yen. Selain itu
dibentuk pula kepanitiaan yang bertugas menangani penyelesaian masalah
keuangan maskapai ini.
Beberapa program pun dirancang demi menghindarkan Japan Airlines dari
kebangkrutan. Salah satunya dilakukan dengan menjual saham mayoritas
kepada American Airlines yang juga anggota Oneworld. Selain kepada
American Airlines, Japan Airlines sempat menjajaki kemungkinan menjual
saham mereka kepada Delta Airlines.
Namun demikian, proses penjualan saham kepada Delta Airlines mengalami
hambatan. Hal ini disebabkan Delta Airlines merupakan anggota Sky team,
aliansi penerbangan seperti Oneworld. Dengan kondisi ini, Japan Airlines
memutuskan tidak melanjutkan proses transaksi dengan Delta, maka
keanggotaan Japan Airlines akan berada di bawah aliansi SkyTeam serta
keluar dari Oneworld.
Jika ini terjadi dikhawatirkan akan terjadi kebingungan di kalangan
konsumen. Selain itu, Japan Airlines akan kehilangan kesempatan
perlindungan antimonopoli dari agen Amerika Serikat. Hal ini merupakan
salah satu kesepakatan yang didapat dari perjanjian ruang terbuka Jepang
dan Amerika Serikat.
Akhirnya American Airlines menjadi salah satu maskapai yang memiliki
kesempatan untuk membeli saham mayoritas dari Japan Airlines. Meski pada
saat yang bersamaan ada beberapa maskapai besar lain yang sebenarnya
juga berminat untuk memiliki saham dari Japan Airlines seperti dari
Prancis melalui Air France KLM, British Airways dari Inggris dan juga
Qantas dari Australia, namun Japan Airlines menolak semua tawaran
tersebut.
Namun, meski sudah menjual saham mayoritas mereka masalah keuangan yang
melanda Japan Airlines belum juga selesai. Akhirnya sejak 19 Januari
2010, maskapai dimasukkan ke dalam program Perlindungan Kebangkrutan
Jepang. Dampak dari kondisi ini adalah terjadinya restrukturisasi atau
pengurangan jumlah karyawan mereka. Sebelum mengalami masalah keuangan,
Japan Airlines memiliki 47ribu karyawan. Namun dengan kesulitan
finansial yang melanda, mereka harus menghentikan 15 ribu karyawan.
Selain itu, armada yang dimiliki pun dikurangi jumlahnya disamping juga
mengadakan pembaruan pesawat. Sementara untuk masalah rute penerbangan
internasional, Japan Airline mengadakan penjadwalan ulang guna
mendapatkan efisiensi.
Japan Airline mengalami kebangkrutan
akibat manajemen buruk selama bertahun-tahun, biaya tinggi, serta
tekanan pemerintah untuk melayani rute tidak menguntungkan di bandara
kecil. Selain itu, Japan Airlines terpuruk akibat krisis ekonomi
global.
Operasi JAPAN AIRLINES yang merugi, hutang yang membengkak, kebijakan
penerbangan yang tidak efisien, dan birokrasi yang lambat, membuat
kebijakan bail out bagai menebar garam di air laut. Masalah mendasar
dari JAPAN AIRLINES adalah “permainan’ dari segi tiga besi (iron
triangle) antara pengusaha, penguasa, dan politisi dalam operasional
JAPAN AIRLINES selama ini. JAPAN AIRLINES dianggap sebagai sebuah
perusahaan besar kebanggaan negeri yang tak boleh bangkrut (too big to
fail). Oleh karena itu suntikan likuiditas secara massif diberikan terus
menerus kepada JAPAN AIRLINES. Namun di sisi lain, operasi JAPAN
AIRLINES tidak dibenahi secara serius. Tekanan dari kekuatan politik dan
pemerintah pada eksekutif JAPAN AIRLINES untuk melayani ambisi mereka
membuka route-route yang tidak menguntungkan, telah menambah beban
operasional JAPAN AIRLINES. Hal ini ditambah lagi dengan berbagai
masalah birokrasi dan remunerasi yang tidak efisien.
Sejak merugi di tahun 2001, lonceng kematian bagi JAPAN AIRLINES memang
seolah hanya menunggu waktu. Tragedi 9/11, wabah virus SARS, Flu Burung,
ancaman teroris, di samping resesi ekonomi, telah memukul JAPAN
AIRLINES secara bertubi-tubi. Meski melayani lebih dari 217 airport dan
35 negara, JAPAN AIRLINES menjadi perusahaan penerbangan yang gemuk dan
tidak efisien. Hutangpun membengkak hingga mencapai sekitar Rp 200
triliun.
Bangkrutnya JAPAN AIRLINES semakin memperkuat adanya masalah serius yang
dihadapi oleh perekonomian Jepang. Meski masih memegang gelar sebagai
negara dengan perekonomian terkuat nomor dua di dunia, Jepang bagai
macan yang terluka. Ekonominya melesu, pengangguran dan kemiskinan
meningkat, dan perusahaan besar berguguran. Bangkrutnya JAPAN AIRLINES
adalah kebangkrutan terbesar perusahaan di luar sektor keuangan sejak
Perang Dunia ke-II. Oleh karena itu, upaya serius untuk bangkit dari
krisis sedang ditempuh oleh pemerintah Jepang.
SOLUSI
Mencari investor yang tepat
Cara untuk menyelamatkan JAPAN AIRLINES mungkin dengan cara mencari
investor yang tepat. Contohnya dengan menawarkan investasi kepada Delta
Airlines atau American Airlines yang merupakan raksasa industri
penerbangan di Amerika. Dengan investor semacam ini JAPAN AIRLINES dapat
melunasi hutang-hutangnya dan mendapatkan "perubahan" yang
diperlukannya agar menjadikan JAPAN AIRLINES kompetitif dan profitable
lagi. JAPAN AIRLINES yang memiliki 279 pesawat (kebanyakan dari Boeing)
dan mempunyai rute penerbangan di 220 bandara di 35 negara merupakan
investasi yang menggiurkan bagi perusahaan-perusahaan seperti Delta
Airlines atau American Airlines yang tentunya akan mendapatkan akses
bisnis ke Asia melalui akuisisi atau investasi tersebut..
Restrukturisasi dan revitalisasi
Selain itu berbagai upaya perampingan seharusnya dilakukan JAPAN
AIRLINES agar tidak mengeluarkan biaya terlalu banyak, terutama biaya
operasional. karena itu sudah seharusnya JAPAN AIRLINES melakukan
restrukturisasi karyawan dan pengurangan armada. Setelah tercipta
restrukturisasi, maka Japan Airlines di bawah bendera manajemen yang
baru harus dapat melakukan revitalisasi dan perbaikan manajemen dengan
konsep baru, seperti yang dilakukan Garuda Indonesia agar dapat kembali
bersaing dalam industri maskapai dunia.
http://underground-paper.blogspot.com/2013/07/studi-kasus-manajemen-perubahan-japan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar